Bahagia Itu Sesederhana Itu


Sebelum kalian membaca tulisan berikut, saya harap kalian membacanya dengan pikiran positif. Apa yang saya tulis, murni hanya ingin membagi motivasi dan mudah-mudahan malah dapat membuat kita sama-sama belajar untuk mencari kebahagiaan dengan cara yang sederhana. InsyaAlloh tidak ada sedikitpun niat saya untuk riya atau berpamer ria. Saya hanya ingin membagi cerita yang mungkin bisa menyadarkan kita arti kebahagiaan. Selamat membaca.
***

Ketika memiliki Hilmi dan Fattah, dunia saya rasanya berubah. Mungkin sejak kehilangan Adira, hidup saya-pun mulai berubah. Mungkin tidak banyak yang tahu bagaimana mereka mengubah hidup saya menjadi lebih “Menerima takdir” dan lebih memahami kondisi. Kondisi yang bagaimana?

Ketika saya kehilangan Adira, tentu saja dunia saya terasa hancur. Betapa pada saat itu, tidak ada tabungan yang bisa saya gunakan untuk melakukan operasi. Betapa saat itu gaji saya hanya sekitar 900rb. Betapa saya dan suami harus berpikir keras bagaimana cara kami bisa membayar uang operasi pengangkatan anak dari rahim. Ikhlas-kah saya? ikhlas insyaAlloh. Karena dengan rasa ikhlas, Alloh hadirkan banyak pertolongan pada kami, tanpa disangka-sangka.

Tapi, kejadian tersebut juga menjadi pecutan untuk saya. Bahwa dalam rasa kehilangan terselipkan sebuah rasa yang tak terdefinisikan. Rasa Pasrah yang demikian pasrah. Saya meyakini untuk pertama kalinya, bahwa apapun yang saya miliki didunia ini adalah bukan milik saya. Saya hanya memainkan peran yang sudah diatur. Saya hanya tinggal menentukan bagaimana act yang akan saya mainkan. Lalu apa yang saya pilih? Saya memilih untuk mencoba berbahagia. Saya membayangkan betapa Adira sedang bersuka cita di Surga bersama malaikat Alloh. Bagaimana seluruh kebutuhannya akan disediakan oleh Alloh. Justru saya-lah yang masih harus berjuang dan mencari bekal untuk kembali pulang.

Dibalik semua rasa itu, saya membagikan kisah Adira kepada teman-teman yang belum dikaruniai anak. Saya ceritakan bahwa kehilangan lebih menyakitkan dibandingkan rasa menginginkan. Karena rasa menginginkan masih bisa dihadiahi sebuah perwujudan, Sedangkan rasa kehilangan adalah ibarat merangkai kepingan keramik yang luluh lantah berserakan. Saya mencoba membangkitkan sebuah harapan pada mereka untuk terus berjuang dan turut mendo’akan mereka.

Lalu apa yang saya dapat? Rasa bahagia. Rasa yang tidak terdefinisikan. Rasa yang menghantarkan saya pada orang-orang yang membutuhkan sebuah semangat. Sebuah harapan baru.

Lalu bagaimana dengan Hilmi dan Fattah. Hilmi mendiami kandungan saya setelah 3 bulan pasca operasi. Ia hadir seakan memberikan saya sebuah titik air diujung daun. Gutasi. Ia hadir menjadi pengganti kesabaran (sesuai dengan namanya) setelah kehilangan untuk saya dan suami. Hilmi juga mengajarkan kami untuk bersabar atas apa yang pernah terjadi padanya.
Ketika ia berusia 1 tahun lebih, ia harus merasakan terkena panasnya setrika pada bagian kaki dan tersiram air panas pada tangan kirinya. Ia juga harus merasakan bagaimana seorang perempuan penjaganya tega membawanya berpeluh kepanasan menempuh perjalanan kereta api Bogor-Depok untuk menemui kekasihnya. Ia harus merasakan semua itu tanpa dipikirkan rasa lapar dan haus selama perjalanan, tanpa dipikirkan apa bahaya yang sedang mengintai dan apa-apa saja yang mungkin terjadi dalam perjalanan. Ini semua akibat seorang penjaga yang tidak amanah. Seorang penjaga yang sudah saya anggap seperti saudara. Seorang penjaga yang tidak bertanggung jawab dan tidak tahu diri.

Tapi selain kekesalan terhadapnya, ada satu perasaan yang terbesit di hati saya. Perasaan bersalah. Betapa saya merasa kejadian tersebut tidak perlu terjadi jika saya tidak bekerja. Jika saya ada dirumah menjaganya sepenuh hati. Saya menangis sejadi-jadinya. Terutama ketika banyak pihak menghakimi saya atas status saya sebagai ibu pekerja. Jangan dipikir bahwa saya tidak sakit melihat postingan-postingan tentang bahagianya menjadi ibu rumah tangga. Saya tentu sakit, terutama jika postingan tersebut bernada menghakimi.

Tapi apa yang mereka tahu mengenai kehidupan saya? apa yang mereka tahu mengenai latar belakang mengapa saya harus bekerja? mereka tidak pernah tahu. Dan mereka tidak perlu tahu. Sehingga saya belajar bersabar. Belajar menahan diri dan mencari solusi. Saya tidak ingin berlarut pada kesedihan yang tak kunjung mencarikan solusi. Untunglah Alloh hadirkan sebuah daycare yang hanya berjarak 3 rumah dari rumah saya sebagai solusi.

Hadirnya Fattah. Fattah adalah rejeki yang tak terduga. Ia hadir tanpa saya sadari. Ia hadir dan memberikan saya pengalaman menjadi ibu yang seutuhnya. Ibu yang akhirnya merasakan perjuangan memberikan ASI exclusive. Perjuangan yang menghabiskan waktu tidur. Fattah juga mengjarkan saya bagaimana membagi kasih antara ia dan Hilmi. Bagaimana saya harus demikian adil dalam membagi perhatian. Bagaimana mengelola emosi. Meskipun saya harus beberapa kali lepas kendali jika keduanya bertengkar. Tapi prosesi inilah yang membuat saya sadar bahwa seorang ibu tidak perlu sempurna. Seorang ibu hanya perlu menjadi ibu yang berupaya maksimal.

Kedua anak inilah juga yang mengajarkan saya banyak hal dari kepolosan mereka. Mereka mengajarkan kesederhanaan. Mereka mengajarkan saya untuk membumi dan rendah diri. Mengajarkan saya untuk tidak bersikap sombong. Mengajarkan saya bahwa kebahagiaan itu ada dalam diri kita sendiri. Sebanyak apa yang dapat kita beri kepada orang lain. Sebanyak itulah kebahagiaan yang kita dapatkan. Itulah yang saya pelajari dari bagaimana cara mereka berbagi makanan dengan temannya. Cara mereka bermain dengan mainan seadanya. Cara mereka yang tidak menyukai kebiasaan jajan. Cara mereka menerima apapun yang saya berikan. Cara mereka menggenggam tangan saya. Cara mereka menyambut saya pulang. Cara mereka memeluk dan mencium saya. Cara mereka mematuhi keinginan saya. Cara mereka menghargai pemberian saya.

Semua tingkah mereka, membuat saya yakin sekali lagi bahwa hidup bersyukur dan apa adanya adalah kebahagiaan yang sangat hakiki. Tak perlulah membandingkan apa yang orang lain peroleh dalam hidupnya, tapi bandingkan dengan apa yang orang lain tidak peroleh. Sehingga kita bersyukur dan mawas diri. Berdiri melangkah tanpa mengangkat dagu. Namun berjalan, merunduk dan banyak-banyak bertanya pada diri ” apakah kita sudah bermanfaat bagi orang lain”. Dengan demikian, hati kita tidak akan dipenuhi iri dengki dan sifat sombong.

Percayalah, kebahagiaan yang paling hakiki adalah ketika cukup bekal kita untuk pulang atas tiga hal: Sedekah, Ilmu yang Bermanfaat dan Do’a dari anak yang soleh. Bukanlah harta dan tahta.

Kita-lah yang tahu kebahagiaan seperti apa yang ingin kita dapatkan. Belajarlah dari semua hal yang sederhana. Hal-hal yang tidak pernah kita sadari adalah sebuah berkah dan kebahagiaan.

 

Leave a comment