Ketika Akhirnya Saya Berbicara, Mereka Anggap Saya Berlebihan


Saya lagi-lagi sangat tertarik dengan berbagai issue tentang mental illness, Kebencian dan mengenai self healing. Dulu sewaktu saya masih Kuliah semester awal, saya sampai minta akses perpustakaan jurusan psikologi-nya teman untuk akses buku-buku di sana. Saya bisa betah seharian disana.

Salah satu tempat yang juga membuat saya nyaman mencari tahu mengenai topik ini adalah Toko Buku. Saya senang bisa mencuri-curi sedikit ilmu dari novel-novel yang menceritakan mengenai psikopat, pembunuhan dan latar belakang alias akar terjadinya hal tersebut dan hubungannya dengan masa kecil mereka.

Saya juga mengikuti kasus yang dialami artis Marshanda. “Ya ampun, kayak kenal ajah sampai harus ngikutin ceritanya”. Lho terus kenapa? Saya suka mengambil “sesuatu” dari orang lain.  Siapapun orangnya. Saya suka mempelajari bagaimana cara orang berpikir, bagaimana seharusnya kita berempati dengan orang lain, bagaimana seharusnya kita support orang-orang, bagaimana cara menjadi pendengar yang baik dan bagaimana berlaku positif. Bahkan saya pernah melakukan observasi kecil-kecilan terhadap seseorang yang dijuluki “orang gila” di depan kantor saya dulu. Ini postingannya

By The Way, Saya juga mantan pasien seorang psikolog lho. Saya pernah merasakan treatment dan di diagnosa mengalami depresi. Atas diagnosa tersebut, saya harus rutin 2 kali seminggu melakukan pertemuan dengan psikolog selama 3 bulan. Saya juga diberi resep obat anti depresi sebanyak 2 butir hingga dinaikkan dosisnya menjadi 4 butir. “Seriusan? perasaan kita kalau ngeliat kamu ceria-ceria ajah. Malah sering ketawa-tawa, becanda, seru, dsb.”

Saya bukan tipikal orang yang suka share masalah yang saya hadapi, kecuali sudah benar-benar tidak ter-handle lagi. Orang-orang yang mengenal pribadi saya, tentu tidak akan percaya yang pernah saya alami. Tapi ya emang itu realitanya.

Tapi apa sih yang salah? mengapa itu semua terjadi?
coba deh di cek latar belakang keluarganya. Apa metode parenting yang dianut? apakah keluarga tersebut saling mendengar satu sama lain? apakah keluarga tersebut saling mendukung? apakah keluarga tersebut hangat? dan sederet pertanyaan lainnya.

Mengapa demikian? karena pilar pertama yang membentuk karakter seseorang adalah keluarga. Jangan dipikir membentuk keluarga itu sangat mudah, tentu banyak sekali faktor yang harus dipikirkan. Pengelolaan emosi, pengasahan rasa, physical touch, verbal touch, dll. Terkadang kita “bodo amat” dan merasa ribet dengan hal-hal tersebut. Tapi tidak.
Masa kecil alias golden age seorang anak saja, bisa rusak karena trauma pada sebuah hal. Begitu rentan meskipun jangan takut dan malah tidak mau berkeluarga. Semua butuh proses. Semua butuh belajar. Tidak masalah “salah”, tapi kita perbaiki.

Nah pertanyaannya, apa yang terjadi pada saya? hingga harus berkonsultasi pada psikolog. Banyak faktor.

Keluarga, pertemanan dan juga percintaan.

Ah lebay banget! lho saya honest lho. Saya nggak bisa cerita serinci apa yang saya alami. Tapi bully, diacuhkan, tidak didengar, dihina, dicemooh, dianggap remeh, di perlakukan tidak adil, dianggap gila, dianggap nggak waras, dianggap trouble maker, dianggap pembohong, dll.

Apa impactnya ke saya secara pribadi? awalnya, saya mencari perhatian dengan melakukan hal-hal tidak normal, melakukan kenakalan remaja, tidak percaya diri, menganggap saya tidak pantas dicintai, tidak pantas mendapatkan sesuatu yang lebih, tidak pantas untuk berprestasi dan akhirnya minder mendekati intovert. Saya bahkan tidak percaya lagi dengan banyak orang. Bahkan sempat berfikir untuk menggores “silet” ke pergelangan tangan.

Hal yang mendasari itu semua karena saya tidak pernah memiliki pendengar yang baik. Ketika saya memutuskan untuk menceritakan, lawan bicara saya tidak mendengar, tidak berempati bahkan menanggapinya dengan setengah-setengah. Akhirnya yang saya rasakan, kebencian yang sangat dengan orang-orang yang menyakiti saya. Saya menjadi insecure terhadap banyak orang.

Yess, itu masa-masa SMA saya yang amat tidak bahagia. Saya masih amat ingat bagaimana orang-orang itu membully saya dengan kata-kata “pelacur”, “sok cantik”, bahkan didepan khalayak ramai. Saya ingat rasanya pada saat itu. Cuma karena hal-hal sepele seperti: salah satu anggota gengnya menyukai saya, seseorang menyatakan cintanya pada saya didepan kelas, karena saya suka menggunakan slayer di kepala. Seseorang yang merasa sering saya omongin. Dilabrak rame-rame dengan alasan nggak jelas. Dilabrak mantan karena dia merasa pacarnya saya omongin. Ah, hal-hal se-sepele itu. Padahal semuanya setting-an seseorang yang menikmati drama-drama. Belum lagi masalah yang saya hadapi dengan diri saya sendiri dan keluarga saya sendiri. Sementara pada saat itu, adalah masa penjajakan diri, pencarian karakter menuju pendewasaan. Tentu butuh bimbingan.

Dengan beberapa drama tersebut ditambah beberapa drama lainnya. Akhirnya diputuskan bahwa saya memerlukan tenaga profesional untuk mengatasi hal tersebut.

Saya bercerita apa yang saya rasakan. Itulah pertama kali saya merasa memiliki teman berbicara yang membiarkan saya berbicara apa yang dirasakan tanpa intimidasi dan dihakimi. Saya juga diberikan obat untuk mengatasi depresi saya atas masa lalu dan masa kecil saya yang tidak”ok”.

Selanjutnya karena saya merasa tidak memiliki penyaluran untuk menyelesaikan masalah saya, saya menghentikan sesi konsultasi tersebut. Saya berusaha untuk “menerima” apapun sebagai jalan hidup. Saya berusaha berubah, melakukan hal-hal baik. Meskipun sulit rasanya terutama ketika saya menyadari bahwa saya memiliki “sesuatu yang lain” dalam diri saya. Ketika saya dapat membaca pikiran orang lain, menganalisa gesture orang lain, mengetahui banyak maksud dari orang lain, siapa orang yang membenci saya. Rasa-rasanya itu sulit. Bayangkan rasanya mengetahui sesuatu yang tidak nyaman namun harus berusaha tidak tahu apa-apa.

Lalu terjadilah suatu hal yang menjadi trigger baru. Ketika saya merasa dikhianati oleh orang yang pertama kali saya sayang. Mengapa demikian? saya pertama kali merasa memiliki pendengar, teman diskusi dan teman travelling yang pas. Teman perenung yang hampir sama pemikirannya. Ini terjadi setelah berselang beberapa tahun setelah sesi konsultasi saya berakhir.

Sebuah nama muncul dipermukaan ketika saya sedang melakukan travelling bersamanya ke arah Bogor. Nama itu muncul di kepala saya tanpa ada yang memberitahu. Tapi terbaca di kepala saya.
Untungnya kami berdua sama-sama dewasa untuk mendiskusikan nama perempuan tersebut. Meskipun akhirnya saya mundur dan memutuskan harus melanjutkan hidup saya.

Perasaan insecure itu sempat datang kembali. Perasaan tidak percaya diri itu datang kembali ditambah perasaan untuk membandingkan diri saya dengan perempuan lain. Luka lama menjadi terbuka kembali.

Saya banyak melakukan hal-hal gila. Saya menangis sejadi-jadinya di terminal bis Rambutan. Saya mengejar-ngejar bis sambil menangis, saya merokok, saya naik turun transjakarta ke tempat-tempat yang tidak saya kenal. Saya banyak nongkrong hingga larut di tongkrongan supir truk, saya lakukan karaoke berjam-jam, saya melakukan travelling ke pantai, ke taman, ke gunung, ke Bali, ke Pure dan ke tempat-tempat yang tidak pernah saya datangi. Semua saya lakukan hanya untuk melupakan rasa sakit saya.

Mungkin inilah rasa tersakit yang pernah saya rasakan dalam fase saya hidup pada saat itu. Karena saya disakiti oleh orang yang saya inginkan “ada” dalam hidup saya.

Merangkak hingga ke dunia kerja, rasa sakit itu ternyata tidak pernah sembuh. Akumulasi dari luka masa kecil, remaja hingga meranjak dewasa… ternyata terpendam. Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan hypno therapy dengan seorang partner kerja saya (memang memiliki kapasitas untuk melakukan itu). Ia menanyakan sebuah hal sepele “apa yang kamu inginkan?” saya katakan “saya ingin melupakan orang-orang yang menyakiti saya. Saya ingin ignore sama mereka.” Sesi hipnotis berlangsung lumayan lama. Saya tidak terlalu ingat, tapi saya terbangun dengan wajah yang sudah basah dengan airmata.

Saya merasa sangat lega dan mendapatkan effect yang ber-proggress per-periodenya. Saya mulai sanggup mengatakan “tidak”, “saya tidak suka diperlakukan seperti ini”, “saya mencintai diri saya”, “saya tidak akan membiarkan seseorang menyakiti saya” dll.

Dan itu terasa sangat sehat. Sejak saat itulah saya tidak mau terlibat lebih banyak dengan hidup orang lain. Saya bersyukur dengan diri saya. Saya melakukan banyak hal yang saya sukai. Mencintai hidup saya dan beranjak memutuskan rantai akumulasi semua rasa sakit itu dengan menikah. Berharap mempersempit pihak yang berada di dalam wilayah “nyaman” saya.

Apa itu semua menyelesaikan. Tentu ya. Tapi masalah tidak pernah tidak ada. Selalu ada fase dimana saya akan mengingat semua rasa sakit itu. Lalu apa yang saya lakukan? menangis, berdoa, berserah, mengaji, merenung atau melakukan semua hal yang saya sukai. Bahkan, saya akan bicarakan pada orang yang menyakiti saya bahwa “saya tidak menyukai hal yang ia lakukan terhadap saya”. Setelah itu, melanjutkan hidup. Menulis. Berprestasi. Menghindari orang-orang yang hanya membuat saya sakit.

So, mungkin dari kalian ada yang menemukan teman-teman yang butuh teman bicara. Tolong bantu. Janganlah kalian menghakimi bagaimana ia menanggapi masalah mereka. Karena kapasitas dan cara  seseorang menanggapi masalah, sangat berbeda. Ada yang tegar, cuek namun ada juga yang drop.

Janganlah menjadi orang yang tidak suka ketika teman bahagia.

Janganlah menjadi seorang penebar kebencian.

Janganlah menikmati melukai hati seseorang.

Bicaralah yang positif, lakukan hal-hal positif, jadilah yang berguna untuk orang lain.

Hindarilah orang-orang yang membawa pengaruh negatif atau berpotensi menyakiti hidupmu.

Banyak-banyaklah bersyukur dengan apa yang ada.

Terakhir, belajarlah memafkan meskipun sulit.

Banyak-banyaklah membaca dan mencari tahu mengenai kepribadian seseorang. Saya sih biasanya nonton youtube-nya Gita Savitri Devi atau kalau mau yang ringan Ria SW.

Oiya sekarang lagi booming juga lho tagline “jangan sampai jempolmu membunuh seseorang”. Jadi semangat menebar yang positif-positif yah gengs 🙂

Gitu ajah deh share yang sempat dijanjiin di instagram. Semoga emnginspirasi yah 🙂

Anyway siapa tahu ada yang butuh link bagus buat referensi:
1. https://www.youtube.com/watch?v=9EAl1-lcKW4
2. https://www.youtube.com/watch?v=3LDN4YKaX-Q
3. https://www.youtube.com/watch?v=cdXRF48W3Ik&t=57s
4. https://www.youtube.com/watch?v=VOKwIUXHgJ4
5. https://www.youtube.com/watch?v=FKNI9eJOwX0
6. https://www.youtube.com/watch?v=2i5cNYQOrMA
7. https://www.youtube.com/watch?v=SlVWPMXFwGo

3 thoughts on “Ketika Akhirnya Saya Berbicara, Mereka Anggap Saya Berlebihan”

  1. wuih masih main WP.. hehehe.. saya baru login lagi setelah sekian lama tengelam kesibukan dunia kantor wkwkk..

Leave a comment